Materi penulisan jurnal ilmiah bereputasi oleh Prof. Teddy Mantoro dari Sampoerna University
https://drive.google.com/file/d/1IZH4Rmpsn8KtfbmpAQLkmcPvscKUQ99T/view
iklan gbr
Minggu, 30 September 2018
Kamis, 13 September 2018
Apresiasi terhadap Jokowi Pemimpin kita utk pidatonya
Apresiasi terhadap Pemimpin kita utk pidatonya:
"Apa yang sedang terjadi dalam perekonomian dunia hari ini adalah kita sedang menuju perang tanpa batas [Infinity War]. Kita belum pernah menghadapi perang dagang dengan ekskalasi seperti saat ini sejak Great Depression di tahun 1930-an. Namun, yakinlah saya dan rekan Avengers saya siap menghalangi Thanos yang ingin menghapus sebagia populasi dunia.
Thanos ingin menghabisi separuh populasi sehingga sisanya yang bertahan dapat menikmati sumber daya per kapita sebesar dua kali lipatnya. Namun, ada kesalahan mendasar dari asumsi ini. Thanos yakin sumber daya di planet bumi terbatas. Faktanya adalah sumber daya alam yang tersedia bagi umat manusia bukannya terbatas, namun tidak terbatas.
Perkembangan teknologi telah menghasilkan peningkatan efisiensi, memberi kita kemampuan untuk memperbanyak sumber daya kita lebih banyak dari sebelumnya.
Penelitian ilmiah membuktikan, ekonomi kita sekarang lebih 'ringan' dalam hal berat fisik dan volume fisik. Hanya dalam 12 tahun terakhir, total berat dan volume televisi, kamera, pemutar music, buku, surat kabar, dan majalah telah tergantikan oleh ringannya ponsel pintar dan tablet.
Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang berat telah tergantikan oleh panel surya dan kincir angin yang ringan.
Kedua, saat perekonomian kita terus berkembang, ekonomi tidak lagi didorong oleh sumber daya alam yang terbatas, melainkan oleh sumber daya manusia yang tidak terbatas.
Generasi muda Indonesia menjadi motor ledakan e-commerce dan ekonomi digital yang transformasional. Saat ini, kami memiliki empat unicorn atau startup bervaluasi di atas US$1 miliar di Indonesia dan tentu saja sumber daya manusia sekarang mendorong revolusi industri 4.0. Pada 4 April lalu kami telah meluncurkan program pemerintah Revolusi Industri 4.0 yang diberi nama "Making Indonesia 4.0".
Pertama, saya percaya bahwa Revolusi Industri 4.0 akan menciptakan banyak lapangan kerja BUKAN MENGHILANGKAN tidak hanya dalam jangka panjang melainkan juga dalam jangka pendek.
Kedua, saya percaya Revolusi Industri 4.0 tidak akan meningkatkan kesenjangan namun justru menurunkannya karena salah satu aspek penting dari Revolusi Industri 4.0 adalah penurunan biaya secara dramatis bagi barang dan jasa sehingga menyebabkan produk tersebut lebih murah dan mudah dijangkau bagi kalangan berpendapatan rendah.
Ketiga, saya percaya ASEAN termasuk Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam Revolusi Industri 4.0. Namun, kita harus mencegah perang dagang ini berkembang menjadi perang tanpa batas.
Anda mungkin bertanya-tanya siapa Thanos? Hadirin sekalian, Thanos bukanlah seorang individu. Maaf sudah membuat Anda kecewa. Thanos ada di dalam diri kita semua. THANOS adalah paham yang salah bahwa untuk berhasil, orang lain harus menyerah. Ia adalah persepsi yang salah bahwa keberhasilan sekelompok orang adalah kegagalan bagi yang lainnya.
Sehingga, Infinity War bukan hanya tentang perang dagang kita tetapi tentang setiap dari diri kita mempelajari ulang sejarah bahwa dengan kreativitas, energi, kolaborasi, dan kerja sama umat manusia akan menikmati sumber daya yang melimpah dan tidak terbatas bukannya perang tak berkesudahan".
"Apa yang sedang terjadi dalam perekonomian dunia hari ini adalah kita sedang menuju perang tanpa batas [Infinity War]. Kita belum pernah menghadapi perang dagang dengan ekskalasi seperti saat ini sejak Great Depression di tahun 1930-an. Namun, yakinlah saya dan rekan Avengers saya siap menghalangi Thanos yang ingin menghapus sebagia populasi dunia.
Thanos ingin menghabisi separuh populasi sehingga sisanya yang bertahan dapat menikmati sumber daya per kapita sebesar dua kali lipatnya. Namun, ada kesalahan mendasar dari asumsi ini. Thanos yakin sumber daya di planet bumi terbatas. Faktanya adalah sumber daya alam yang tersedia bagi umat manusia bukannya terbatas, namun tidak terbatas.
Perkembangan teknologi telah menghasilkan peningkatan efisiensi, memberi kita kemampuan untuk memperbanyak sumber daya kita lebih banyak dari sebelumnya.
Penelitian ilmiah membuktikan, ekonomi kita sekarang lebih 'ringan' dalam hal berat fisik dan volume fisik. Hanya dalam 12 tahun terakhir, total berat dan volume televisi, kamera, pemutar music, buku, surat kabar, dan majalah telah tergantikan oleh ringannya ponsel pintar dan tablet.
Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang berat telah tergantikan oleh panel surya dan kincir angin yang ringan.
Kedua, saat perekonomian kita terus berkembang, ekonomi tidak lagi didorong oleh sumber daya alam yang terbatas, melainkan oleh sumber daya manusia yang tidak terbatas.
Generasi muda Indonesia menjadi motor ledakan e-commerce dan ekonomi digital yang transformasional. Saat ini, kami memiliki empat unicorn atau startup bervaluasi di atas US$1 miliar di Indonesia dan tentu saja sumber daya manusia sekarang mendorong revolusi industri 4.0. Pada 4 April lalu kami telah meluncurkan program pemerintah Revolusi Industri 4.0 yang diberi nama "Making Indonesia 4.0".
Pertama, saya percaya bahwa Revolusi Industri 4.0 akan menciptakan banyak lapangan kerja BUKAN MENGHILANGKAN tidak hanya dalam jangka panjang melainkan juga dalam jangka pendek.
Kedua, saya percaya Revolusi Industri 4.0 tidak akan meningkatkan kesenjangan namun justru menurunkannya karena salah satu aspek penting dari Revolusi Industri 4.0 adalah penurunan biaya secara dramatis bagi barang dan jasa sehingga menyebabkan produk tersebut lebih murah dan mudah dijangkau bagi kalangan berpendapatan rendah.
Ketiga, saya percaya ASEAN termasuk Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam Revolusi Industri 4.0. Namun, kita harus mencegah perang dagang ini berkembang menjadi perang tanpa batas.
Anda mungkin bertanya-tanya siapa Thanos? Hadirin sekalian, Thanos bukanlah seorang individu. Maaf sudah membuat Anda kecewa. Thanos ada di dalam diri kita semua. THANOS adalah paham yang salah bahwa untuk berhasil, orang lain harus menyerah. Ia adalah persepsi yang salah bahwa keberhasilan sekelompok orang adalah kegagalan bagi yang lainnya.
Sehingga, Infinity War bukan hanya tentang perang dagang kita tetapi tentang setiap dari diri kita mempelajari ulang sejarah bahwa dengan kreativitas, energi, kolaborasi, dan kerja sama umat manusia akan menikmati sumber daya yang melimpah dan tidak terbatas bukannya perang tak berkesudahan".
Manusia-manusia Rigid, Akan Sulit Sendiri By Rhenald Kasali
Manusia-manusia Rigid, Akan Sulit Sendiri By Rhenald Kasali
(oleh: Rhenald Kasali)
KOMPAS.com - Dalam perjalanan pulang ke Jakarta dari Frankfurt, duduk di sebelah saya salah seorang CEO perusahaan terkemuka Indonesia. Pria berkebangsaan India yang sangat berpendidikan itu bercerita tentang karir dan perusahannya.
Gerakan keduanya (karir dan perusahaannya) begitu lincah. Tidak seperti kita, yang masih rigid, terperangkap pola lama, seakan-akan semua layak dipagari, dibuat sulit. Perusahaan sulit bergerak, impor-ekspor bergerak lambat, dwelling time tidak konsisten. Sama seperti karier sebagian kita, terkunci di tempat. Akhirnya hanya bisa mengeluh.
Pria itu dibesarkan di India, kuliah S-1 sampai selesai di sana, menjadi alumni Fullbright, mengambil S-2 di Amerika Serikat, lalu berkarir di India sampai usia 45 tahun. Setelah itu menjadi CEO di perusahaan multinasional dari Indonesia.
Perusahaannya baru saja mengambil alih sebuah pabrik besar di Frankfurt. Namun karena orang di Frankfurt masih kurang yakin dipimpin eksekutif dari emerging countries, ia membujuk pemasoknya dari Italia agar ikut memiliki saham minoritas di Frankfurt. Dengan kepemilikan itu, pabrik di Frankfurt dikelola eksekutif dari Eropa (Italia).
Solved!
Itu adalah gambaran dari agility. Kelincahan bergerak yang lahir dari fenomena borderles world. Anehnya juga kita mendengar begitu banyak orang yang cemas menghadapi perubahan. Dunia sudah lebih terbuka, mengapa harus terus merasa sulit? Susah di sini, bisa bergeser ke benua lain. Tak ada lagi yang sulit. Ini tentu harus disyukuri.
Serangan Tenaga Kerja
Belum lama ini kita membaca berita tentang kegusaran seseorang yang tulisannya diforward kemana-mana melalui media sosial. Mulai dari berkurang agresifnya angka pertumbuhan, sampai serangan tenaga kerja dari China.
Berita itu di-forward kesana – kemari, sehingga seakan-akan tak ada lagi masa depan di sini. Yang mengherankan saya, mengapa ia tidak pindah saja bekerja dan berimigrasi ke negara yang dipikirnya hebat itu?
Bekerja atau berkarir di luar negri tentu akan menguntungkan bangsa ini. Pertama, Anda akan memberi kesempatan kerja pada orang lain yang kurang beruntung. Dan kedua, Anda akan mendapatkan wisdom, bahwa hal serupa, komplain yang sama ternyata juga ada di luar negri.
Rekan saya, CEO yang saya temui di pesawat Lufthansa tadi mengeluhkan tentang negerinya. “Orang Indonesia baik-baik, bekerja di Indonesia menyenangkan. Kalau diajari sedikit, bangsa Anda cepat belajar. Pikiran dan tindakannya terstruktur. India tidak! Di India politisi selalu mengganggu pemerintah. Irama kerja buruh tidak terstruktur. Pertumbuhan ekonomi terlalu cepat, membuat persaingan menggila. Rakyatnya makin konsumtif dan materialistis.” Kalimat itu ia ucapkan berkali-kali.
Susah? Kerja Lebih Profesional!
Di Italia, guide saya, seorang kepala keluarga berusia muda mengantar saya melewati ladang-ladang anggur di Tuscany, menolak menemani makan siang yang disajikan mitra kerja Rumah Perubahan di rumahnya yang indah. “Biarkan saya hanya makan salad di luar. Saya dilarang makan enak saat mengemudi,” ujarnya.
Kepada putra saya ia mengajari. "Saat bekerja kita harus bekerja, harus profesional, gesit dan disiplin. Cari kerja itu sulit, mempertahankannya jauh lebih sulit. Kita harus lebih kompetitif dari orang lain kalau tetap ingin bekerja," ujarnya.
Di dalam vineyard-nya yang indah, rekan saya menyajikan aneka makanan Italia yang lezat, lengkap dengan demo masak dan ritual mencicipi wine yang dianggap sakral. Di situ mereka berkeluh kesah tentang perekonomian Eropa yang terganggu Yunani belakangan ini. Dan lagi-lagi mereka menyebutkan kehidupan yang nyaman itu ada di Pulau Dewata, Bali dan Pulau Jawa.
Ketika saya ceritakan bahwa kami di Indonesia juga sedang susah, dia mendengarkan baik-baik. “Dari dulu kalian terlalu rendah hati, selalu merasa paling miskin dan paling susah. Ketika kalian sudah menjadi bangsa yang kaya, tetap merasa miskin. Tetapi, saya tak pernah melihat bangsa yang lebih kaya, lebih merdeka, lebih bahagia, dari pada Indonesia.” Saya pun terdiam.
Di Singapura, saya mengirim berita tentang komplain terhadap masalah dollar AS dan ancaman kesulitan pada rekan lain yang sudah lima tahun ini berkarir di sana. Ia pun menjawab ringan, “Suruh orang-orang itu kerja di sini saja.”
Tak lama kemudian ia pun meneruskan. “Kalau sudah kerja di sini baru tahu apa artinya kerja keras dan hidup yang fragile.”
Saya jadi teringat curhat habis-habisan yang ia utarakan saat saya berobat ke negeri itu. “Mana bisa konkow-konkow, main Facebook, nge-tweet di jam kerja? Semua harus disiplin, berani maju, kompetitif, dan siap diberhentikan kalau hasil kerja buruk. Di negeri kita (Indonesia), saya masih bisa bersantai-santai, karyawan banyak, hasil kerja tidak penting, yang penting bos tidak marah saja,” ujarnya.
Saat itu ia tengah menghadapi masa probation atau percobaan. Sungguh khawatir kursinya akan direbut pekerja lain dari India, Turki, dan Prancis yang bahasa Inggrisnya lebih bagus, dan ritme kerjanya lebih cepat. Ternyata bekerja di negeri yang perekonomiannya bagus itu juga tidak mudah. Padahal di sana mereka lihat kerja yang enak itu ya di sini.
Bangsa Merdeka Jangan Cengeng
Saya makin terkekeh membaca berita yang disebarluaskan para haters melalui grup-grup WA, bahwa pemerintah sekarang tidak perform, membiarkan sepuluh ribuan buruh dari China merangsek masuk ke negri ini. Sungguh, saya tak gusar dengan serangan tenaga kerja itu. Yang membuat saya gusar adalah kalau hal serupa dilakukan bangsa-bangsa lain terhadap tenaga kerja asal Indonesia di luar negri.
Penyebar berita kebencian itu mestinya lebih rajin jalan-jalan ke luar negri. Bukankah dunia sudah borderless, tiket pesawat juga sudah jauh lebih murah. Cara menginap juga sangat mudah dan murah. Kalau saja ia rajin, maka ia akan menemukan fakta-fakta ini: Sebanyak 300.000 orang tenaga kerja Indonesia bekerja di Taiwan. 250.000 lainnya di Hongkong. Lebih dari 100.000 orang ada di Malaysia. Selain itu, perusahaan-perusahaan kita sudah mulai mengepung Nigeria, Myanmar, dan Brazil. Bahkan juga canada dan Amerika.
Jadi bagaimana ya? Kok baru dikepung 10.000 saja kita sudah rasis? Ini tentu mengerikan.
Lalu dari grup WA para alumnus sekolah, belakangan ini saja juga mendapat kiriman teman-teman yang kini berkarir di manca negara. Delapan keluarga teman kuliah saya ada di Kanada, beberapa di Jerman dan Eropa, puluhan di Amerika Serikat, dan yang terbanyak tentu saja di Jakarta. Semakin banyak orang kita yang berkarier bebas di mancanegara. Karir mereka tidak rigid.
Jadi, janganlah kita cengeng. Beraninya hanya curhat dan komplain, tapi tak berbuat apa-apa. Bahkan beraninya hanya menyuarakan kebencian. Atau paling-paling cuma mengajak berantem dan membuat akun palsu bertebaran. Kita juga jangan mudah berprasangka.
Syukuri yang sudah didapat. hanya mungkin diatasi dengan berkomitmen untuk bekerja lebih jujur, lebih keras, lebih respek, lebih profesional, dan memberi lebih.
Kalau Anda merasa Indonesia sudah “berbahaya” ya belain dong. Kalau Anda merasa tak senang dengan orang lain, ya sudah, pindah saja ke luar negri. Mudah kok. Di sana Anda akan mendapatkan wisdom, atas kata-kata dan perbuatan sendiri. Di sana kita baru bisa merasakan kayanya Indonesia. Di sana kita baru tahu bahwa tak ada hidup yang mudah.
(Sumber: Kompas.com)
(oleh: Rhenald Kasali)
KOMPAS.com - Dalam perjalanan pulang ke Jakarta dari Frankfurt, duduk di sebelah saya salah seorang CEO perusahaan terkemuka Indonesia. Pria berkebangsaan India yang sangat berpendidikan itu bercerita tentang karir dan perusahannya.
Gerakan keduanya (karir dan perusahaannya) begitu lincah. Tidak seperti kita, yang masih rigid, terperangkap pola lama, seakan-akan semua layak dipagari, dibuat sulit. Perusahaan sulit bergerak, impor-ekspor bergerak lambat, dwelling time tidak konsisten. Sama seperti karier sebagian kita, terkunci di tempat. Akhirnya hanya bisa mengeluh.
Pria itu dibesarkan di India, kuliah S-1 sampai selesai di sana, menjadi alumni Fullbright, mengambil S-2 di Amerika Serikat, lalu berkarir di India sampai usia 45 tahun. Setelah itu menjadi CEO di perusahaan multinasional dari Indonesia.
Perusahaannya baru saja mengambil alih sebuah pabrik besar di Frankfurt. Namun karena orang di Frankfurt masih kurang yakin dipimpin eksekutif dari emerging countries, ia membujuk pemasoknya dari Italia agar ikut memiliki saham minoritas di Frankfurt. Dengan kepemilikan itu, pabrik di Frankfurt dikelola eksekutif dari Eropa (Italia).
Solved!
Itu adalah gambaran dari agility. Kelincahan bergerak yang lahir dari fenomena borderles world. Anehnya juga kita mendengar begitu banyak orang yang cemas menghadapi perubahan. Dunia sudah lebih terbuka, mengapa harus terus merasa sulit? Susah di sini, bisa bergeser ke benua lain. Tak ada lagi yang sulit. Ini tentu harus disyukuri.
Serangan Tenaga Kerja
Belum lama ini kita membaca berita tentang kegusaran seseorang yang tulisannya diforward kemana-mana melalui media sosial. Mulai dari berkurang agresifnya angka pertumbuhan, sampai serangan tenaga kerja dari China.
Berita itu di-forward kesana – kemari, sehingga seakan-akan tak ada lagi masa depan di sini. Yang mengherankan saya, mengapa ia tidak pindah saja bekerja dan berimigrasi ke negara yang dipikirnya hebat itu?
Bekerja atau berkarir di luar negri tentu akan menguntungkan bangsa ini. Pertama, Anda akan memberi kesempatan kerja pada orang lain yang kurang beruntung. Dan kedua, Anda akan mendapatkan wisdom, bahwa hal serupa, komplain yang sama ternyata juga ada di luar negri.
Rekan saya, CEO yang saya temui di pesawat Lufthansa tadi mengeluhkan tentang negerinya. “Orang Indonesia baik-baik, bekerja di Indonesia menyenangkan. Kalau diajari sedikit, bangsa Anda cepat belajar. Pikiran dan tindakannya terstruktur. India tidak! Di India politisi selalu mengganggu pemerintah. Irama kerja buruh tidak terstruktur. Pertumbuhan ekonomi terlalu cepat, membuat persaingan menggila. Rakyatnya makin konsumtif dan materialistis.” Kalimat itu ia ucapkan berkali-kali.
Susah? Kerja Lebih Profesional!
Di Italia, guide saya, seorang kepala keluarga berusia muda mengantar saya melewati ladang-ladang anggur di Tuscany, menolak menemani makan siang yang disajikan mitra kerja Rumah Perubahan di rumahnya yang indah. “Biarkan saya hanya makan salad di luar. Saya dilarang makan enak saat mengemudi,” ujarnya.
Kepada putra saya ia mengajari. "Saat bekerja kita harus bekerja, harus profesional, gesit dan disiplin. Cari kerja itu sulit, mempertahankannya jauh lebih sulit. Kita harus lebih kompetitif dari orang lain kalau tetap ingin bekerja," ujarnya.
Di dalam vineyard-nya yang indah, rekan saya menyajikan aneka makanan Italia yang lezat, lengkap dengan demo masak dan ritual mencicipi wine yang dianggap sakral. Di situ mereka berkeluh kesah tentang perekonomian Eropa yang terganggu Yunani belakangan ini. Dan lagi-lagi mereka menyebutkan kehidupan yang nyaman itu ada di Pulau Dewata, Bali dan Pulau Jawa.
Ketika saya ceritakan bahwa kami di Indonesia juga sedang susah, dia mendengarkan baik-baik. “Dari dulu kalian terlalu rendah hati, selalu merasa paling miskin dan paling susah. Ketika kalian sudah menjadi bangsa yang kaya, tetap merasa miskin. Tetapi, saya tak pernah melihat bangsa yang lebih kaya, lebih merdeka, lebih bahagia, dari pada Indonesia.” Saya pun terdiam.
Di Singapura, saya mengirim berita tentang komplain terhadap masalah dollar AS dan ancaman kesulitan pada rekan lain yang sudah lima tahun ini berkarir di sana. Ia pun menjawab ringan, “Suruh orang-orang itu kerja di sini saja.”
Tak lama kemudian ia pun meneruskan. “Kalau sudah kerja di sini baru tahu apa artinya kerja keras dan hidup yang fragile.”
Saya jadi teringat curhat habis-habisan yang ia utarakan saat saya berobat ke negeri itu. “Mana bisa konkow-konkow, main Facebook, nge-tweet di jam kerja? Semua harus disiplin, berani maju, kompetitif, dan siap diberhentikan kalau hasil kerja buruk. Di negeri kita (Indonesia), saya masih bisa bersantai-santai, karyawan banyak, hasil kerja tidak penting, yang penting bos tidak marah saja,” ujarnya.
Saat itu ia tengah menghadapi masa probation atau percobaan. Sungguh khawatir kursinya akan direbut pekerja lain dari India, Turki, dan Prancis yang bahasa Inggrisnya lebih bagus, dan ritme kerjanya lebih cepat. Ternyata bekerja di negeri yang perekonomiannya bagus itu juga tidak mudah. Padahal di sana mereka lihat kerja yang enak itu ya di sini.
Bangsa Merdeka Jangan Cengeng
Saya makin terkekeh membaca berita yang disebarluaskan para haters melalui grup-grup WA, bahwa pemerintah sekarang tidak perform, membiarkan sepuluh ribuan buruh dari China merangsek masuk ke negri ini. Sungguh, saya tak gusar dengan serangan tenaga kerja itu. Yang membuat saya gusar adalah kalau hal serupa dilakukan bangsa-bangsa lain terhadap tenaga kerja asal Indonesia di luar negri.
Penyebar berita kebencian itu mestinya lebih rajin jalan-jalan ke luar negri. Bukankah dunia sudah borderless, tiket pesawat juga sudah jauh lebih murah. Cara menginap juga sangat mudah dan murah. Kalau saja ia rajin, maka ia akan menemukan fakta-fakta ini: Sebanyak 300.000 orang tenaga kerja Indonesia bekerja di Taiwan. 250.000 lainnya di Hongkong. Lebih dari 100.000 orang ada di Malaysia. Selain itu, perusahaan-perusahaan kita sudah mulai mengepung Nigeria, Myanmar, dan Brazil. Bahkan juga canada dan Amerika.
Jadi bagaimana ya? Kok baru dikepung 10.000 saja kita sudah rasis? Ini tentu mengerikan.
Lalu dari grup WA para alumnus sekolah, belakangan ini saja juga mendapat kiriman teman-teman yang kini berkarir di manca negara. Delapan keluarga teman kuliah saya ada di Kanada, beberapa di Jerman dan Eropa, puluhan di Amerika Serikat, dan yang terbanyak tentu saja di Jakarta. Semakin banyak orang kita yang berkarier bebas di mancanegara. Karir mereka tidak rigid.
Jadi, janganlah kita cengeng. Beraninya hanya curhat dan komplain, tapi tak berbuat apa-apa. Bahkan beraninya hanya menyuarakan kebencian. Atau paling-paling cuma mengajak berantem dan membuat akun palsu bertebaran. Kita juga jangan mudah berprasangka.
Syukuri yang sudah didapat. hanya mungkin diatasi dengan berkomitmen untuk bekerja lebih jujur, lebih keras, lebih respek, lebih profesional, dan memberi lebih.
Kalau Anda merasa Indonesia sudah “berbahaya” ya belain dong. Kalau Anda merasa tak senang dengan orang lain, ya sudah, pindah saja ke luar negri. Mudah kok. Di sana Anda akan mendapatkan wisdom, atas kata-kata dan perbuatan sendiri. Di sana kita baru bisa merasakan kayanya Indonesia. Di sana kita baru tahu bahwa tak ada hidup yang mudah.
(Sumber: Kompas.com)
Langganan:
Postingan (Atom)