Disrupsi dunia kuliner dimulai ?
Akhir akhir ini dunia kuliner ibukota dihebohkan oleh promosi gila2an yang dilakukan oleh startup fintech yang kian gencar melakulan akuisisi pelanggan.
Coba tengok di beberapa mall favorit. Paket Bakso ini Rp. 4000. Kopi expresso itu Rp. 2000. Paket semangkok Nasi ayam Rp. 5000. Dan lain lain. Sudah termasuk service. Fasilitas ruangan ber AC dengan interior keren. Harga gila, jauh lebih murah daripada harga jual di warung tenda!
Itu baru yang dilakukan salah satu payment gateway berlogo biru, sebut saja namanya Gopek (bukan nama sebenernya)
Lain lagi yang dilakukan aplikasi travelaku (nama samaran), penjual tiket online, yang juga mulai gencar menawarkan voucher-voucher murah dari restoran/kuliner branded dengan subsidi diskon sampai 60%. Makanan yg biasanya dijual seporsi 50 rb an, cukup dibayar dengan 20rb. Sisanya 30rb si aplikasi yang bayarin.
Persaingan makin memanas. Aplikaso Oso (juga nama samaran), yang sejak berdiri sudah fokus sebagai payment gateway, juga turut meramaikan peperangan dengan diskon cashback dari 10% hingga 30%.
Grebek, sang unicorn Ojek online jg tak mau kalah. Coba saja masuk aplikasinya, macam-macam diskon kuliner spektakuler ditawarkan demi meningkatkan pendapatan perusahaan, tentunya dengan melalui fintech payment gateway yang dimilikinya. Belakangan aplikasi ini berkolaborasi menggunakan payment gateway Oso untuk kemudahan pelanggan bertransaksi.
Sejatinya perang promosi yang terjadi adalah untuk menambah jumlah pengguna aplikasi, yang ujungnya adalah menambah jumlah penyimpanan uang digital pada aplikasi tersebut.
Masing2 berusaha mencari partner usaha kuliner. Dapet uang dari warung/usaha kuliner yg selama ini tidak pernah mereka dirikan. Targetnya bervariasi. Ada yang mengincar pendapatan dari dine in (makan di tempat), ada yang take away (bungkus), ada yg jualan voucher makan yang bisa dibagikan ke kolega atau saudara.
Disrupsi perlahan mulai terjadi. Banting2an harga tak terhindarkan. Masyarakat yg tadinya jarang masuk restoran, jadi banyak pilihan dengan harga yg sangat terjangkau. Yang biasanya makan di warteg atau kantin warung belakang kantor, mudah mengupgrade gaya hidup dengan makan di restoran favorit dengan harga yang jauh lebih murah. Dengan maraknya promo kuliner super murah, pelanggan tentunya adalah pihak yang paling diuntungkan.
Dulu perangnya di tarif angkutan. Taksi, angkot jadi korbannya. Sekarang merangsek ke kuliner. Apakah kantin-kantin dan warung tenda bakal terganggu ?
Jika perang rebutan 'nasabah' ini terus terjadi dan makin masif, kedepan ini akan jadi masalah sekaligus peluang bagi pemilik usaha2 kuliner. Serba salah. Tidak ikutan promosi bakal kegencet warung sebelah yang lagi banting harga dapet subsidi. Kalau ikutan juga musti mikir bahan baku apa yg tahan dibanting sampai perang usai. Set up menu yang cukup lebar marginnya untuk dibagi dengan pihak fintech. Karena pihak fintech menginginkan potongan harga yang besar untuk menarik minat pelanggan.
Efeknya saya rasa dalam jangka pendek hanya merugikan satu atau beberapa usaha kuliner tetangga , dan sangat menguntungkan usaha lain yang sedang disubsidi. Tetapi dalam jangka panjang jika polanya terus sama, akan mengoreksi harga2 jasa kuliner, sedemikian sehingga jika sampai usaha kuliner secara masif tidak bisa menutup biaya sewa, maka harga2 sewa/property pun akan ikut terkoreksi tajam. Atau jika harga sewa tidak banyak terkoreksi, maka cara penyajian, cara pelayanan (proses bisnis dan bisnis model ) harus segera dirubah supaya tetap efisien. Inilah tantangan sekaligus peluang bisnis kuliner masakini dengan hadirnya ekonomi digital.
Bagaimana agar bisnis kuliner kita menjadi primadona yang disubsidi fintech, bagaimana meningkatkan daya tawar produk sehingga komisi untuk fintech bisa ditekan serendah mungkin, bagaimana profit tetap bagus walaupun terjadi perang promosi fintech. Kurang lebih itu, diluar masalah2 operasional harian tentunya.
Cahsless society suatu saat akan menjadi kenyataan. Cepat atau lambat. Fintech yang awalnya sering kasih subsidi dan diskon besar untuk pelanggan dan kasih sales buat merchant, tentunya ingin suatu saat uangnya kembali.
Ketika jumlah uang digital bertambah, tentunya akan didapat pula data-data digital. Dengan cara ini tentunya mereka tahu sekali pola-pola penjualan merchant. menu-menu apa yang paling laku di pasaran, berapa pembelian rata2, daerah mana yang paling banyak menghasilkan penjualan. Daerah mana suka dengan menu apa. Dst.
Kalau kuliner berhasil digarap dengan baik, mungkin sekali merambah bidang lain seperti barang-barang fashion branded. Atau bidang2 jasa lain yang cukup lebar untuk dishare marginnya.
Setelah data pelanggan sudah didapat, pola pelanggan sudah teramati dengan baik, deposit uang digital juga semakin besar, maka bukan tidak mungkin jika suatu saat fintech menjelma menjadi bank-bank swasta generasi baru. Yang awalnya bank sebagai partner fintech dalam melakukan top up saldo, bisa jadi akan berdiri sendiri sebuah bank format baru. Yang lebih efisien dan betul2 memahami kebiasaan pelanggannya.
Jika abang-abang ojol dulu hanya bertugas untuk mengantar barang, mengantar makanan. Sekarang beberapa dari mereka sudah mulai sambil bertugas sebagai teller untuk memasukkan uang pelanggan ke aplikasi fintech mereka. Tentunya ada bonus poin menarik untuk itu.
Kedepan, sangatlah mungkin mereka juga bertugas sebagai debt collector manakala sudah tiba saatnya sang Fintech menjelma menjadi sebuah bank komersial.
Bisa Jadi, ketika seorang pelanggan memesan makanan lewat aplikasi, si Abang Ojek yang mengantar pesanan pelanggan bisa berkata " Silahkan Pak ini pesanan 10 box paket Bebek Dowernya. Oh ya, ada titipan pesan dari kantor katanya Bapak belum melunasi cicilan motor bulan ini. Apa bisa kami ambil sekalian ? "
Jreng jreeng... Jiaahh.. :))