iklan gbr

Senin, 05 Maret 2018

Scopus: Seperti "menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”.

Scopus: Seperti "menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”.
Bukankah Scopus itu hanya sebuah lembaga pengindeks..? atau dengan kata lain pemberi peringkat..? Lalu siapakah yang patut disalahkan jika jurnal-jurnal terbitan Indonesia hanya sedikit sekali yang terindeks Scopus? Tercatat hanya ada 27 jurnal terbitan Indonesia yang diindeks Scopus, tapi itupun hanya ada 2 jurnal dengan peringkat Q2, dan selebihnya bertengger di klasemen bawah Q3 dan Q4 dengan SJR tidak ada yang melebihi 1.00 (http://www.scimagojr.com/journalrank.php?country=ID).
Dibandingkan dengan tetangga kita Singapura, negara yang tidak lebih besar dari Jabodetabek itu bahkan menyumbangkan 102 jurnal terindeks Scopus dengan puluhan jurnal peringkat Q1. Hanya beberapa dintaranya yang Q3 dan Q4 (http://www.scimagojr.com/journalrank.php?country=SG).
Bahkan dibandingkan dengan Malaysia, negara yang tidak lebih besar dari pulau Sumatera itu, peringkat dan reputasinya juga lebih cemerlang dari kita. Tercatat ada 79 jurnal terindeks Scopus yang beberapa diantaranya termasuk peringkat Q1 (http://www.scimagojr.com/journalrank.php?country=MY).
Bukankah diindeks/ diberi peringkat itu wajar-wajar saja..? Berdasarkan pengindeks universitas seperti the Times Higher Education -THE (https://www.timeshighereducation.com/world…/…/world-ranking…), Academic Ranking of World University -ARWU (http://www.shanghairanking.com/ARWU2017.html), QS World University Ranking (https://www.topuniversities.com/…/world-university-ran…/2018), dan Webometrics (http://www.webometrics.info/en/world), kita harus jujur mengakui bahwa peringkat universitas-universitas di Indonesia tidak ada yang masuk top-500 dunia. Jika ada yang masuk top-1000, itupun hanya 2 atau 3 universitas saja dari ribuan universitas yang ada di Indonesia. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab (atau mungkin disalahkan) karena memberi kita peringkat rendah..? Apakah kita harus menyalahkan THE, QS dan ARWU karena memberi kita peringkat rendah?
Mungkin karena objek yang dinilai oleh THE, QS dan ARWU adalah lembaga (universitas) bukan pribadi/ personal, sepertinya tidak banyak dari kita yang peduli dan khawatir. Tetapi berbeda dengan Scopus yang mampu menilai banyak paramenter dari sebuah publikasi, hingga indeks personal peneliti-pun mampu ia nilai. Sehingganya, banyak di antara kita yang merasa tidak puas dengan hasil penilaiannya. Di Scopus semuanya tertera dengan detail, jelas dan transparan, termasuk diantaranya: jumlah dokumen yg sudah kita publikasi, di jurnal mana dipublikasi, berapa jumlah dokumen yang disitasi, siapa yang mensitasi, berapa jumlah co-author, berapa h-index, dll.
Scopus (Elsevier) memang bukanlah satu-satunya lembaga pengindeks jurnal. Lembaga paling bereputasi lainnya tentu adalah Clarivate Analytics dari Web of Science -former Thomson Reuters. Berdasarkan Journal Citation Reports (JCR) yang dirilis setiap tahun oleh Web of Science (http://ipscience-help.thomsonreuters.com/inci…/8275-TRS.html), kami bahkan belum menemukan satupun jurnal terbitan Indonesia yang terdaftar dan berhasil memiliki impact factor dari Web of Science.
Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah tidak ada dosen/ peneliti Indonesia yang karyanya diakui dan disitasi peneliti Internasional..? Jawabannya tentu saja ada, beberapa diantaranya dapat dilihat di sini (http://sinta.ristekdikti.go.id/authors). Dari perspektif Ristekdikti (halaman-1), terpampang daftar top-10 peneliti Indonesia dengan outcome riset terbaik. Saya ambil salah satu contohnya saja yaitu Dr. dr. Bachti Alisjahbana, Sp.PD dari Fakultas Kedokteran UNPAD/ RS Hasan Sadikin Bandung. Menurut SINTA ristekdikti, beliau menempati peringkat ke-9 secara nasional dari total 80.848 orang dosen/ periset lainnya di Indonesia, serta peringkat pertama secara institusional -UNPAD (http://sinta.ristekdikti.go.id/authors/detail…). Berdasarkan analisis Scopus, dengan h-index 25, terdapat 108 karya beliau yang terpublikasi di jurnal top-tiers, serta disitasi sebanyak 2.425 kali oleh 1.891 dokumen lain (https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorId=6506944516). Sungguh menurut kami ini adalah sebuah prestasi yang patut diberikan apresiasi yang tinggi. Bahkan dari pantauan kami, beliau belumlah diangkat menjadi guru besar (profesor), dan baru sebatas Doktor (mohon dikoreksi jika salah).
Kalau ingin dikomparasi sesama peneliti Indonesia, kita akan menemukan banyaknya guru besar (profesor) dari institusi perguruan tinggi Indonesia yang jumlah dokumen terindeksnya bahkan hanya 1 atau 2 saja, dengan h-index kecil dan sitasi rendah. Sepertinya tidak perlu saya sebutkan contohnya (takut kualat), tinggal ketik saja nama beliau di Scopus author profile (https://www.scopus.com/freelookup/form/author.uri), atau kalau alergi dengan Scopus bisa cek nama beliau di SINTA Ristekdikti (http://sinta.ristekdikti.go.id/), pasti akan ketemu hasilnya. Jika memang begitu adanya, maka tak salah jika baru-baru ini kita dihebohkan dengan berita bahwa lebih dari separuh (3.800 dari 5.300-an) guru besar di Indonesia belum memenuhi kewajibannya untuk publikasi di jurnal bereputasi internasional (http://mediaindonesia.com/…/3-800-profesor-belum…/2018-02-23).
Daripada ramai-ramai menyalahkan Scopus, tentu saja tanpa melupakan perbaikan diri pribadi, apakah tidak sebaiknya jurnal-jurnal terbitan Indonesia juga berbenah diri sehingga lebih dipercaya dunia internasional..? Apakah tidak sebaiknya jurnal-jurnal terbitan Indonesia tersebut harus terus kita tingkatkan kualitas dan kuantitasnya sehingga dilirik untuk disubmit serta disitasi peneliti Internasional..? Sehingganya, suatu saat nanti publikasi yg bermutu (mungkin) tidak perlu lagi diekspor untuk dipublikasi ke luar negeri.
Pendapat ini tentu saja hanya dilihat dari sebagian sudut pandang saja. Kita belum membahas kendala dan tantangan riset di Indonesia seperti pendanaan, teknologi, instrument, fasilitas, dll. Dengan selalu meng-upgrade diri, semoga kita dan institusi pendidikan tinggi kita bisa berbenah, dan tidak takut berbenah untuk kualitas dan mutu yang lebih baik.
Sumber :
https://www.facebook.com/groups/dosen.muda.indonesia/permalink/1304537662981516/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RF Optimization Headlines