Scopus: Seperti "menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”.
Bukankah Scopus itu hanya sebuah lembaga pengindeks..? atau dengan kata
lain pemberi peringkat..? Lalu siapakah yang patut disalahkan jika
jurnal-jurnal terbitan Indonesia hanya sedikit sekali yang terindeks
Scopus? Tercatat hanya ada 27 jurnal terbitan Indonesia yang diindeks
Scopus, tapi itupun hanya ada 2 jurnal dengan peringkat Q2, dan
selebihnya bertengger di klasemen bawah Q3 dan Q4 dengan SJR tidak ada
yang melebihi 1.00 (http://www.scimagojr.com/journalrank.php?country=ID).
Dibandingkan dengan tetangga kita Singapura, negara yang tidak lebih
besar dari Jabodetabek itu bahkan menyumbangkan 102 jurnal terindeks
Scopus dengan puluhan jurnal peringkat Q1. Hanya beberapa dintaranya
yang Q3 dan Q4 (http://www.scimagojr.com/journalrank.php?country=SG).
Bahkan dibandingkan dengan Malaysia, negara yang tidak lebih besar dari
pulau Sumatera itu, peringkat dan reputasinya juga lebih cemerlang dari
kita. Tercatat ada 79 jurnal terindeks Scopus yang beberapa diantaranya
termasuk peringkat Q1 (http://www.scimagojr.com/journalrank.php?country=MY).
Bukankah diindeks/ diberi peringkat itu wajar-wajar saja..? Berdasarkan
pengindeks universitas seperti the Times Higher Education -THE (https://www.timeshighereducation.com/world…/…/world-ranking…), Academic Ranking of World University -ARWU (http://www.shanghairanking.com/ARWU2017.html), QS World University Ranking (https://www.topuniversities.com/…/world-university-ran…/2018), dan Webometrics (http://www.webometrics.info/en/world),
kita harus jujur mengakui bahwa peringkat universitas-universitas di
Indonesia tidak ada yang masuk top-500 dunia. Jika ada yang masuk
top-1000, itupun hanya 2 atau 3 universitas saja dari ribuan universitas
yang ada di Indonesia. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab (atau
mungkin disalahkan) karena memberi kita peringkat rendah..? Apakah kita
harus menyalahkan THE, QS dan ARWU karena memberi kita peringkat rendah?
Mungkin karena objek yang dinilai oleh THE, QS dan ARWU adalah
lembaga (universitas) bukan pribadi/ personal, sepertinya tidak banyak
dari kita yang peduli dan khawatir. Tetapi berbeda dengan Scopus yang
mampu menilai banyak paramenter dari sebuah publikasi, hingga indeks
personal peneliti-pun mampu ia nilai. Sehingganya, banyak di antara kita
yang merasa tidak puas dengan hasil penilaiannya. Di Scopus semuanya
tertera dengan detail, jelas dan transparan, termasuk diantaranya:
jumlah dokumen yg sudah kita publikasi, di jurnal mana dipublikasi,
berapa jumlah dokumen yang disitasi, siapa yang mensitasi, berapa jumlah
co-author, berapa h-index, dll.
Scopus (Elsevier) memang
bukanlah satu-satunya lembaga pengindeks jurnal. Lembaga paling
bereputasi lainnya tentu adalah Clarivate Analytics dari Web of Science
-former Thomson Reuters. Berdasarkan Journal Citation Reports (JCR) yang
dirilis setiap tahun oleh Web of Science (http://ipscience-help.thomsonreuters.com/inci…/8275-TRS.html),
kami bahkan belum menemukan satupun jurnal terbitan Indonesia yang
terdaftar dan berhasil memiliki impact factor dari Web of Science.
Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah tidak ada dosen/ peneliti Indonesia
yang karyanya diakui dan disitasi peneliti Internasional..? Jawabannya
tentu saja ada, beberapa diantaranya dapat dilihat di sini (http://sinta.ristekdikti.go.id/authors).
Dari perspektif Ristekdikti (halaman-1), terpampang daftar top-10
peneliti Indonesia dengan outcome riset terbaik. Saya ambil salah satu
contohnya saja yaitu Dr. dr. Bachti Alisjahbana, Sp.PD dari Fakultas
Kedokteran UNPAD/ RS Hasan Sadikin Bandung. Menurut SINTA ristekdikti,
beliau menempati peringkat ke-9 secara nasional dari total 80.848 orang
dosen/ periset lainnya di Indonesia, serta peringkat pertama secara
institusional -UNPAD (http://sinta.ristekdikti.go.id/authors/detail…).
Berdasarkan analisis Scopus, dengan h-index 25, terdapat 108 karya
beliau yang terpublikasi di jurnal top-tiers, serta disitasi sebanyak
2.425 kali oleh 1.891 dokumen lain (https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorId=6506944516).
Sungguh menurut kami ini adalah sebuah prestasi yang patut diberikan
apresiasi yang tinggi. Bahkan dari pantauan kami, beliau belumlah
diangkat menjadi guru besar (profesor), dan baru sebatas Doktor (mohon
dikoreksi jika salah).
Kalau ingin dikomparasi sesama peneliti
Indonesia, kita akan menemukan banyaknya guru besar (profesor) dari
institusi perguruan tinggi Indonesia yang jumlah dokumen terindeksnya
bahkan hanya 1 atau 2 saja, dengan h-index kecil dan sitasi rendah.
Sepertinya tidak perlu saya sebutkan contohnya (takut kualat), tinggal
ketik saja nama beliau di Scopus author profile (https://www.scopus.com/freelookup/form/author.uri), atau kalau alergi dengan Scopus bisa cek nama beliau di SINTA Ristekdikti (http://sinta.ristekdikti.go.id/),
pasti akan ketemu hasilnya. Jika memang begitu adanya, maka tak salah
jika baru-baru ini kita dihebohkan dengan berita bahwa lebih dari
separuh (3.800 dari 5.300-an) guru besar di Indonesia belum memenuhi
kewajibannya untuk publikasi di jurnal bereputasi internasional (http://mediaindonesia.com/…/3-800-profesor-belum…/2018-02-23).
Daripada ramai-ramai menyalahkan Scopus, tentu saja tanpa melupakan
perbaikan diri pribadi, apakah tidak sebaiknya jurnal-jurnal terbitan
Indonesia juga berbenah diri sehingga lebih dipercaya dunia
internasional..? Apakah tidak sebaiknya jurnal-jurnal terbitan Indonesia
tersebut harus terus kita tingkatkan kualitas dan kuantitasnya sehingga
dilirik untuk disubmit serta disitasi peneliti Internasional..?
Sehingganya, suatu saat nanti publikasi yg bermutu (mungkin) tidak perlu
lagi diekspor untuk dipublikasi ke luar negeri.
Pendapat ini
tentu saja hanya dilihat dari sebagian sudut pandang saja. Kita belum
membahas kendala dan tantangan riset di Indonesia seperti pendanaan,
teknologi, instrument, fasilitas, dll. Dengan selalu meng-upgrade diri,
semoga kita dan institusi pendidikan tinggi kita bisa berbenah, dan
tidak takut berbenah untuk kualitas dan mutu yang lebih baik.
Sumber :
https://www.facebook.com/groups/dosen.muda.indonesia/permalink/1304537662981516/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar