Mengenal Lebih Dekat KH Said Aqil Siroj
KH Said Aqil Siroj.
Fathoni, NU Online | Rabu, 18 Januari 2017 12:30
Tak kenal maka tak sayang. Barangkali peribahasa itu tepat
untuk menggambarkan keadaan Indonesia akhir-akhir ini, dimana orang tak hanya
tak kenal dan tak sayang, tetapi bahkan justru memfitnah, membenci dan memaki,
dengan orang yang belum dikenalnya di media. Tak terkecuali, berbagai fitnah,
berita palsu (hoax) dan makian yang dialamatkan kepada Prof Dr KH Said Aqil
Siradj, MA, Ketua Umum Ormas Islam terbesar di dunia: Nahdlatul Ulama (NU).
Untuk itu, tulisan ini sedikit mengupas profil beliau, sosok
santri yang dulu pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Universitas
Indonesia (MWA UI) itu dinobatkan oleh Republika sebagai Tokoh
Perubahan Tahun 2012karena kontribusinya dan komitmennya dalam mengawal
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berperan aktif dalam
perdamaian dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah.
*
Ketika usia negara ini masih belia – delapan tahun – dan
para pendiri bangsa baru beberapa tahun menyelesaikan “status kemerdekaan”
Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, di sebuah desa bernama
Kempek, Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, senyum bahagia KH Aqil Siroj
mengembang. Tepat pada 3 Juli 1953, Pengasuh Pesantren Kempek itu dianugerahi
seorang bayi laki-laki, yang kemudian diberi nama Said.
Said kecil kemudian tumbuh dalam tradisi dan kultur
pesantren. Dengan ayahandanya sendiri, ia mempelajari ilmu-ilmu dasar
keislaman. Kiai Aqil sendiri – Ayah Said – merupakan putra Kiai Siroj,
yang masih keturunan dari Kiai Muhammad Said Gedongan. Kiai Said Gedongan
merupakan ulama yang menyebarkan Islam dengan mengajar santri di pesantren dan
turut berjuang melawan penjajah Belanda.
“Ayah saya hanya memiliki sepeda ontel, beli rokok pun
kadang tak mampu. Dulu setelah ayah memanen kacang hijau, pergilah ia ke pasar
Cirebon. Zaman dulu yang namanya mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya
ada pada jam-jam tertentu,” kenang Kiai Said dalam buku Meneguhkan Islam
Nusantara; Biografi Pemikiran dan Kiprah Kebangsaan (Khalista: 2015).
Setelah merampungkan mengaji dengan ayahanda maupun ulama di
sekitar Cirebon, dan umur dirasa sudah cukup, Said remaja kemudian belajar di
Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH Abdul Karim (Mbah
Manaf). Di Lirboyo, ia belajar dengan para ustadz dan kiai yang merawat santri,
seperti KH Mahrus Ali, KH Marzuki Dahlan, dan juga Kiai Muzajjad Nganjuk.
Setelah selesai di tingkatan Aliyah, ia melanjutkan kuliah
di Universitas Tribakti yang lokasinya masih dekat dengan Pesantren Lirboyo.
Namun kemudian ia pindah menuju Kota Mataram, menuju Ngayogyokarta Hadiningrat.
Di Yogya, Said belajar di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dibawah bimbingan KH
Ali Maksum (Rais Aam PBNU 1981-1984). Selain mengaji di pesantren Krapyak, ia
juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, yang ketika itu KH Ali Maksum menjadi Guru
Besar di kampus yang saat ini sudah bertransformasi menjadi UIN itu.
Ia merasa belum puas belajar di dalam negeri. Ditemani
istrinya, Nurhayati, pada tahun 1980, ia pergi ke negeri kelahiran Nabi
Muhammad SAW: Makkah Al-Mukarramah. Di sana ia belajar di Universitas King
Abdul Aziz dan Ummul Qurra, dari sarjana hingga doktoral. Di Makkah, setelah
putra-putranya lahir, Kang Said – panggilan akrabnya – harus mendapatkan
tambahan dana untuk menopang keluarga. Beasiswa dari Pemerintah Saudi, meski
besar, dirasa kurang untuk kebutuhan tersebut. Ia kemudian bekerja sampingan di
toko karpet besar milik orang Saudi di sekitar tempat tinggalnya. Di toko ini,
Kang Said bekerja membantu jual beli serta memikul karpet untuk dikirim kepada
pembeli yang memesan.
Keluarga kecilnya di Tanah Hijaz juga sering
berpindah-pindah untuk mencari kontrakan yang murah. “Pada waktu itu, bapak
kuliah dan sambil bekerja. Kami mencari rumah yang murah untuk menghemat
pengeluaran dan mencukupkan beasiswa yang diterima Bapak,” ungkap Muhammad
Said, putra sulung Kang Said.
Dengan keteguhannya hidup ditengah panasnya cuaca Makkah di
siang hari dan dinginnya malam hari, serta kerasnya hidup di mantan “tanah
Jahiliyyah” ini, ia menyelesaikan karya tesisnya di bidang perbandingan agama:
mengupas tentang kitab Perjanjian Lama dan Surat-Surat Sri Paus Paulus. Kemudian,
setelah 14 tahun hidup di Makkah, ia berhasil menyelesaikan studi S-3 pada
tahun 1994, dengan judul: Shilatullah bil-Kauni fit-Tashawwuf
al-Falsafi (Relasi Allah SWT dan Alam: Perspektif Tasawuf). Pria yang
terlahir di pelosok Jawa Barat itu mempertahankan disertasinya – diantara para
intelektual dari berbagai dunia – dengan predikat Cumlaude.
Ketika bermukim di Makkah, ia juga menjalin persahabatan
dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “Gus Dur sering berkunjung ke kediaman
kami. Meski pada waktu itu rumah kami sangat sempit, akan tetapi Gus Dur
menyempatkan untuk menginap di rumah kami. Ketika datang, Gus Dur berdiskusi
sampai malam hingga pagi dengan Bapak,” ungkap Muhammad Said bin Said Aqil.
Selain itu, Kang Said juga sering diajak Gus Dur untuk sowan ke
kediaman ulama terkemuka di Arab, salah satunya Sayyid Muhammad Alawi
Al-Maliki.
Setelah Kang Said mendapatkan gelar doktor pada 1994, ia
kembali ke tanah airnya: Indonesia. Kemudian Gus Dur mengajaknya aktif di NU
dengan memasukkannya sebagai Wakil Katib ‘Aam PBNU dari Muktamar ke-29 di
Cipasung. Ketika itu, Gus Dur “mempromosikan” Kang Said dengan kekaguman: “Dia
doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih
dari 1000 referensi,” puji Gus Dur. Belakangan, Kang Said juga banyak memuji
Gus Dur. “Kelebihan Gus Dur selain cakap dan cerdas adalah berani,” ujarnya,
dalam Simposium Nasional Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 21 November 2011
silam.
Setelah lama akrab dengan Gus Dur, banyak kiai yang
menganggap Kang Said mewarisi pemikiran Gus Dur. Salah satunya disampaikan oleh
KH Nawawi Abdul Jalil, Pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, ketika
kunjungannya di kantor PBNU pada 25 Juli 2011. Kunjungan waktu itu, merupakan
hal yang spesial karena pertama kalinya kiai khos itu berkunjung ke PBNU – di
dampingi KH An’im Falahuddin Mahrus Lirboyo. Kiai Nawawi menganggap bahwa Kang
Said mirip dengan Gus Dur, bahkan dalam bidang ke-nyelenehan-nya.
“Nyelenehnya pun juga sama,” ungkap Kiai Nawawi, seperti
dikutip NU Online. “Terus berjuang di NU tidak ada ruginya. Teruslah
berjuang memimpin, Allah akan selalu meridloi,” tegas Kiai Nawawi kepada orang
yang diramalkan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di usia lebih dari 55 tahun
itu.
Menjaga NKRI dan mengawal perdamaian dunia
Pada masa menjelang kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1936,
para ulama NU berkumpul di Banjarmasin untuk mencari format ideal negara
Indonesia ketika sudah merdeka nantinya. Pertemuan ulama itu menghasilkan
keputusan yang revolusioner: (1) negara Darus Salam (negeri damai),
bukan Darul Islam (Negara Islam); (2) Indonesia sebagai Negara
Bangsa, bukan Negara Islam. Inilah yang kemudian menginspirasi Pancasila dan
UUD 1945 yang dibahas dalam Sidang Konstituante – beberapa tahun kemudian.
Jadi, jauh sebelum perdebatan sengit di PPKI atau BPUPKI tentang dasar negara
dan hal lain sebagainya, ulama NU sudah terlabih dulu memikirkannya.
Pemikiran, pandangan dan manhajulama pendahulu tentang
relasi negara dan agama (ad-dien wa daulah) itu, terus dijaga dan dikembangkan
oleh NU dibawah kepemimpinan Kang Said. Dalam pidatonya ketika mendapat
penganugerahan Tokoh Perubahan 2012 pada April 2013, Kiai Said menegaskan sikap
NU yang tetap berkomitmen pada Pancasila dan UUD 1945. “Muktamar (ke-27 di
Situbondo-pen) ini kan dilaksanakan di Pesantren Asembagus pimpinan Kiai As’ad
Syamsul Arifin. Jadi, pesantren memang luar biasa pengaruhnya bagi bangsa ini.
Meski saya waktu itu belum menjadi pengurus PBNU,” kata Kiai Said, mengomentari
Munas Alim Ulama NU 1983 dan Muktamar NU di Situbondo 1984 yang menurutnya
paling fenomenal dan berdampak dalam pandangan kebangsaan.
Sampai kini, peran serta NU dalam hal kebangsaan begitu
kentara kontribusinya, baik di level anak ranting sampai pengurus besar, di
tengah berbagai rongrongan ideologi yang ingin menggerogoti Pancasila sebagai
dasar negara. Hal ini tercermin dalam berbagai kegiatan dan program NU yang
selalu mengarusutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks ini, Kiai
Said sangat berpengaruh karena kebijakan PBNU selalu diikuti kepengurusan
dibawahnya – termasuk organisasi sayapnya.
Salah satu peran yang cukup solutif, misalnya, ketika beliau
menaklukkan Ahmad Mushadeq – orang yang mengaku sebagai Nabi di Jakarta dan
menimbulkan kegaduhan nasional – lewat perdebatan panjang tentang hakikat
kenabian (2007). “Alhamdulillah, doa saya diterima untuk bertemu ulama, tempat
saya bermudzakarah (diskusi). Sekarang saya sadar kalau langkah saya selama ini
salah,” aku Mushadeq. Disisi lain, Kang Said juga mengakui kehebatan Mushadeq.
“Dia memang hebat. Paham dengan asbabun nuzul Al-Qur’an dan asbabul wurud
Hadits. Hanya sedikit saja yang kurang pas, dia mengaku Nabi, itu saja,” jelas
Kiai Said seperti yang terekam dalam Antologi NU: Sejarah, Istilah,
Amaliah dan Uswah (Khalista & LTN NU Jatim, Cet II 2014).
Kiai yang mendapat gelar Profesor bidang Ilmu Tasawuf dari
UIN Sunan Ampel Surabaya ini bersama pengurus NU juga membuka dialog melalui
forum-forum Internasional, khususnya yang terkait isu-isu terorisme, konflik
bersenjata dan rehabilitasi citra Islam di Barat yang buruk pasca serangan
gedung WTC pada 11 September 2001. Ia juga kerapkali membuat acara dengan
mengundang ulama-ulama dunia untuk bersama-sama membahas problematika Islam
kontemporer dan masalah keumatan.
Pada Jumat, 7 Maret 2014, Duta Besar Amerika untuk Indonesia
Robert O. Blake berkunjung ke kantor PBNU. Ia menginginkan NU terlibat dalam
penyelesaian konflik di beberapa negara. “Kami berharap NU bisa membantu
penyelesaian konflik di negara-negara dunia, khususnya di Syria dan Mesir. NU
Kami nilai memiliki pengalaman membantu penyelesaian konflik, baik dalam maupun
luar negeri,” kata Robert, seperti dilansir NU Online. “Sejak saya
bertugas di Mesir dan India, saya sudah mendengar bagaimana peran NU untuk ikut
menciptakan perdamaian dunia,” imbuhnya.
Raja Yordania Abdullah bin Al-Husain (Abdullah II) juga berkunjung
ke PBNU. Ia ditemui Kiai Said, meminta dukungan NU dalam upaya penyelesaian
konflik di Suriah. “Di Timur Tengah, tidak ada organisasi masyarakat yang bisa
menjadi penengah, seperti di Indonesia. Jika ada konflik, bedil yang bicara,”
ungkap Kiai Said.
Selain itu, menguapnya kasus SARA di Indonesia belakangan
juga kembali marak muncul ke permukaan. “Munculnya kerusuhan bernuansa agama
memang sangat sering kita temukan. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
harus terus belajar pentingnya toleransi dan kesadaran pluralitas. Sikap
toleransi tersebut dibuktikan oleh Kaisar Ethiopia, Najashi (Negus) ketika para
sahabat ditindas oleh orang-orang Quraisy di Mekkah dan memutuskan untuk hijrah
ke Ethiopia demi meminta suaka politik kepadanya. Kaisar Negus yang dikenal
sebagai penguasa beragama Nasrani itu berhasil melindungi para sahabat Nabi
Muhammad SAW dari ancaman pembunuhan kafir Quraisy,” tulis Kiai Said
dalam Dialog Tasawuf Kiai Said: Akidah, Tasawuf dan Relasi Antarumat
Beragama (Khalista, LTN PBNU & SAS Foundation, Cet II, 2014).
Menghadapi potensi konflik horisontal itu, NU juga tetap
mempertahankan gagasan Darus Salam, bukan Darul Islam, yang terinspirasi dari
teladan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah. Dalam naskah tersebut, nabi membuat
kesepakatan perdamaian, bahwa muslim pendatang (Muhajirin) dan muslim pribumi
(Anshar) dan Yahudi kota Yastrib (Madinah) sesungguhnya memiliki misi yang
sama, sesungguhnya satu umat. Yang menarik, menurut Kiai Said, Piagam Madinah –
dokumen sepanjang 2,5 halaman itu – tidak menyebutkan kata Islam. Kalimat
penutup Piagam Madinah juga menyebutkan: tidak ada permusuhan kecuali terhadap
yang dzalim dan melanggar hukum. “Ini berarti, Nabi Muhammad tidak
memproklamirkan berdirinya negara Islam dan Arab, akan tetapi Negara Madinah,”
terang Kiai Said.
Selain itu, menurutnya, faktor politis juga kerapkali
mempengaruhi, bukan akidah atau keyakinan. “Seperti di masa Perang Salib,
faktor politis dan ekonomis lebih banyak menyelimuti renggangnya keharmonisan
kedua umat bersaudara tersebut di Indonesia. Dengan demikian, kekeruhan
hubungan Islam-Kristen tidak jarang dilatarbelakangi nuansa politis yang sama
sekali tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri,” ungkapnya, dalam
buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi
bukan Aspirasi.
*
Ditengah agenda Ketua Umum PBNU yang sedemikian padat, Kiai
Said dewasa ini diterpa berbagai fitnah, hujatan dan bahkan makian dari urusan
yang remeh-temeh sampai yang menyangkut urusan negara. Ia dituduh agen Syiah,
Liberal, antek Yahudi, pro Kristen, dan fitnah-fitnah lain oleh orang yang
sempit dalam melihat agama dan konsep kemanusiaan dan kebangsaan.
Meski demikian, ia toh manusia biasa – yang tak
luput dari salah, dosa dan kekurangan – bukan seorang Nabi. Artinya, kritik
dalam sikap memang wajar dialamatkan, tetapi tidak dengan hujatan, fitnah, dan
berita palsu, melainkan dengan kata yang santun. Terkait hal ini, dalam suatu
kesempatan ia memberi tanggapan kepada para haters-nya. Bukannya marah,
Kiai Said justru menganggap para pembenci dan pemfitnah itu yang kasihan. Dan
sebagai orang yang tahu seluk beluk dunia tasawuf, tentu dia sudah memaafkan,
jauh sebelum mereka meminta maaf atas segenap kesalahan. Wallahu a’lam.
Ahmad Naufa Khoirul Faizun, Kader Muda NU dan
Kontributor NU Online asal Purworejo, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar